Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Kepulauan Riau. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Minggu, 14 Oktober 2007

Marhalim Zain



(Pekanbaru)

Lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Alumnus Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Buku puisinya Segantang Bintang Sepasang Bulan (2003) dan Langgam Negeri Puisi (2004). Kini berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Pekanbaru sebagai ketua Jurusan Teater dan staf pengajar. Terakhir ia mengikuti International Literary Biennale 2005 di Lampung. Salah satu puisinya :

Song Of The Bintan
: putu wijaya

Semalam, yang gemetaran
di ujung tiang tebing
adalah kita,
bebatu yang dingin
sehabis ditikam hujan
dan puisi-puisi
yang basi.

(Padanya, kau berharap
ada mimpi,
atau sebatang rokok
yang nyala,
ada api)

Tapi pulau ini
bukan laki-laki,
ia pernah salah
membuang wajah
pada matahari mati
dan cemas
yang abadi.
Lihat,
wajahmu memucat!

Malam dan angin,
saat tak tepat
untuk mencatat
segala umpat.
Kita mungkin
hanya bisa berpaling
menghitung gugur jam
pada tetes tempias
di kaca jendela,
dan roda mobil
yang terus melaju.
Di mana putu?
(Ia berjalan kaki
bersama gerimis)

Dan isbedy,
seperti sedang
melepas kenang
di tiang-tiang pelabuhan,
di tiang-tiang perempuan.
Bahwa laut,
sempat membuat kecut,
membuat hasrat surut
melepas pagut,
tapi gurindam ini,
sunyi yang asing ini,
justru mempererat renggut.
Siapa yang sakit
di antara kita?

Sekejap lagi
tahun melambai pergi
seolah anak-anak kita
yang sakit hati.
Padanya,
Ada bau sepatu
dari jejak beribu kota,
meruap jadi uban,
jadi anai-anai,
dan senja
yang lepai.

(Apakah, sebuah pagi
akan selalu setia
membawa matahari
dan menyelipkan
sepucuk sisa waktu
di bawah celah pintu?)

Saat itu,
kita masih berselimut
dalam tubuh malam,
dalam tubuh
yang tak utuh.

Dan di bawah bantal
sebuah bangkai hari
yang telanjang,
seperti foto keluarga
yang terlipat,
yang terjirat.
Kau baik-baik saja,
istriku?

Barangkali,
di kelenteng tua itu,
harapan dan kesedihan
kita sangkutkan
di duapuluhdua tangan,
seperti sebuah sejarah
yang dipatungkan.
Dewa-dewa
atau tuhan,
kadang berdiri
di samping kita,
meminta foto bersama,
selayaknya kawan lama.
Tapi kadang,
ketakutan datang
dari arah belakang
memakai baju hitam
dan dada yang berlubang.
Sebaiknya,
kita pulang saja!

(Aduhai,
ini bintan,
sebuah lukisan
tentang pertemuan
dan ingatan yang
berkejaran)

Tengoklah, rumah
yang berkerumun
di tepian,
dan kapal-kapal
yang demam,
dihimpit
daratan dan lautan.
Kita di mana, tuan?

Orang-orang yang sibuk itu,
juga sedang bertanya
tentang di mana.
Tentang kapan
sebuah awal
dari sebuah akhir.

(Semalam, yang gemetaran
di ujung tiang hujan
adalah kita,
bebatu yang dingin
sehabis ditikam
puisi-puisi
yang basi)

Tanjung Pinang, 2005

Tidak ada komentar: