Selamat datang di Kawasan Penyair Nusantara Kepulauan Riau. Terima kasih atas kunjungan Anda.

Rabu, 11 Agustus 2010

Hafney Maulana


Lahir tahun 1965 , Kab. Indragiri Hilir, Riau. Aktif dalam berbagai kegiatan sastra dan kebudayaan daerah maupun nasional. Mengikuti Mimbar Penyair Abad 21 di Taman Ismail Marzuki Jakarta tahun 1996, Temu Penyair se-Sumatera tahun 1997 di Pekanbaru, Perkampungan budaya Pulau Rupat (Perkampungan Penulis Riau dan GAPENA Malaysia) tahun 1997, Pertemuan sastrawan Nusantara (PSN) IX dan Pertemuan Sastrawan Indonesia (PSI) di Kayu Tanam – Sumatera Barat tahun 1997, Perkampungan Penulis Melayu Serumpun ( Indonesia, Malaysia, singapura, Berunai, Thailand ) di Daik Lingga tahun 1999, Kenduri Seni melayu ( Malay Arts Colebration) di Batam tahun 1999, Dialog Rempang ( Perkampungan penulis Rantau Melayu ( Riau, Malaysia, singapura, Berunai, Thailand dan Filipina ) tahun 2000 di pulau Rempang, Batam. Gerak Gemilang I tahun 2005 dan Gerak Gemilang II tahun 2006 di Tembilahan, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Kedah Malaysia tahun 2007 dan lain-lain.

Karya puisi, cerpen dan artikel budayanya telah dimuat diberbagai media massa daerah maupun nasional dan berbagai antologi antara lain: Antologi Puisi Kemah Seniman di Surakarta (1996), Antologi Puisi Penyair Abad 21 (Balai Pustaka, Jakarta 1996), Antologi Puisi Indonesia 1997 (KSI dan Angkasa Bandung, 1997), Amsal sebuah Patung (Yayasan Gunungan, Yogyakarta, 1997), Antologi Puisi Makam (pusat Pengkajian Bahasa dan Kebudayaan Melayu, Universitas Riau, Pekanbaru 1999), Antologi Puisi Jazirah Luka (Unri Pres, Pekanbaru 1999), Air Mata 1824 (Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru 2000), Resonansi Indonesia – Puisi dua bahasa Indonesia dan Mandarin (KSI, Jakarta 2000), Asia Throug Asian Eyes (CD-ROOM, Currikulum Corporation, Australia 2001), dan beberapa antologi lainnya. Puisi-puisinya telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris dan Mandarin.

Kumpulan Puisi tunggalnya terkumpul dalam: Usia Yang Tertinggal (Batam Grafiti, 1996), Jajak-Jejak Waktu (Dokumentasi Sastra Mandiri, 2005), Mengutip Makna Tamasya Purba (KBP, 2005). Kumpulan Puisinya yang terbaru berjudul : Dari Raja Ali Haji Ke Indragiri ( Panggung Melayu, Jakarta 2008

Puisinya antara lain :


SEPI TIADA HENTI

Seperti tiang listrik yang gemetar di ujung malam. Kau biarkan mimpimu kembara. Melelehkan kenangan dalam dada. Dalam dada.
Demikian deras arus sungai hatimu. Kesedihan kau simpan. Dimanakah?
Kau tahu, tak ada airmata kutemukan. Bagai lukisan yang pecah berderai, menyepih jam, menyepih hari. Impian demi impian berlompatan, seperti anak-anak kijang melihat sehunus pisau. Mungkinkah diingat lagi?
Apa yang akan kukatakan padamu. Bila bulan tak henti tanya, karena musim tak hendak menunggu. Tak ada yang dapat dicatat pada pucat dinding, pada kanvas usang. Hanya sepi tiada henti.


Sastra mandiri, tbh: 7-7-10



SIAPA YANG DATANG PADAKU

Siapa yang datang padaku? Malam malam biru.
Seperti ombak hilangkan jejak. Seperti angin hilangkan debu.
”simpan mimpimu di sini,” katanya
Kenapa mesti cinta dan rindu membuat lupa. Seperti purba Adam dan Hawa
Mematuk sunyi mengamuk sepi. Pedih sendiri. Rindu birahi


Sastra mandiri, tbh: 7-7-10




ADA JERIT KETIKA PINTU DIBUKA

Ada jerit ketika pintu dibuka
Engsel-engsel berkarat. Sebuah rumah sunyi
Cuma tangis, kelaparan menyambut pagi tiba

Beginilah. Ada langit tanpa cahaya. Jam hanya batas usia
Mengekalkan kesunyian. Menyanyikan erangan.
Mendengkurkan rintihan

Peradaban hanya burung hantu yang menunggu

Sastra Mandiri, tbh: 8-7-2010



NYANYIAN GELANDANGAN

Rambutmu yang berkibar dalam gelombang taman purbani
Menari dalam lingkaran cahaya bernyanyi. Ada ruang sunyi
Dalam puing api di negeri sendiri

Hari-harimu membangun biografi duri abadi
Mencadai gerimis dalam dendang tanah ini
Saling meremas ketelanjangan diri. Dingin ditinggal sepi

Wajahmu seperti dentingan kecapi
Membelah mimpi dengan jemari.
Menggumpal tanah persengketaan bumi.

Kau tumpas segala nyeri
Walau belum kau pahami. Kemanusiaan zaman ini
Cuma kursi, syahwat dan dasi


Sastra Mandiri, tbh: 9-7-2010




MENDULANG KESEDIHAN AWAN

mendulang kesedihan awan jauh menangkup cakrawala
bagai layar berkibar menghitung berapa usia
isyaratkan gerak masa lalu dan masa kini pada gigil anak
yang tersesat pada rumah sendirii

ada tangis bagai senandung gemuruh menembus awan
ketika sekian ratus ribu anak-anak menadahkan tangan
meminta jiwa-jiwa mereka mengalir ke sungai waktu
bermain di puncak buih mengejar kupu-kupu hinggap sepanjang tiang


sastra mandiri, tbh: 12-7-2010



ENGKAU YANG MENANTI. 1

setelah tikam. batu-batu hitam. kelam
engkau diam menyimpan takdirmu dalam senyap dalam harap
dalam sangsi dalam mimpi. menanti.

”sampai bila kan menunggu,” kutabur kata ke ubun-ubunmu

begitu sepi. begitu sunyi. anganmu berlari. menanti. menanti
walau hati nyeri

sastra mandiri, tbh: 16-7-2010


ENGKAU YANG MENANTI 2

Menanti
Di dermaga sepi yang usang
Hanya kunang-kunang
Menyelam ke ceruk kelam
Bersilang lintang
Cuma gemercik
Air surut dan air pasang
Lalu di mana lambai gelombang

Lelaki malang
Menunggu musim panjang
Angin selatan bertiup terbang
Sampai subuh menjelang


Sastra mandiri, tbh: 26-7-2010

Minggu, 14 Oktober 2007

Sunlie Thomas Alexander


(Pangkal Pinang)

Lahir di Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977.Terakhir studi di jurusan Diskomvis, Fakultas Seni Rupa, ISI Yogyakarta. Menulis cerpen, puisi dan esai yang dipublikasikan di majalah Horison, Jurnal Cerpen Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, Bernas, Lampung Post, Sriwijaya Post, Padang Ekspres, Sijori Pos, Sumatera Ekspres, Rakyat Merdeka, Bangka Pos, majalah Hai dan lain-lain. Terhimpun sejumlah antologi cerpen dan puisi bersama dan pemenang lomba, di antaranya, Kelekak (2005) dan Jalan Berantu Menuju Baro. Intens bergiat di Komunitas Rumah lebah, Yogyakarta dan bersama kawannya di Yogyakarta mendirikan Komunitas Ladang, sebuah kelompok studi kajian social-budaya dan filsafat. Saat ini berada di Bangka untuk menyelesaikan bakal novernya Langit Ketiga Puluh Tiga. Cerpennya Jelaga Hio terpilih sebagai 14 Cerpen Terbaik Sayembara Menulis Cerpen Anugerah Horison 2004.

Salah satu puisinya :

Tembangmu Ibu, Sepanjang Badan

tembangmu ibu, lirih kekal menembang
dari ayunan,
menjadi doa panjang buaian masa depan
lekuk tempo birama mengalun di badan
berhulu dari usia, bermuara pada usia
mengalir dalam darah, berdesir takkan moksa
maka kudayung perahu ke teluk teluk buana
menepi pada rimba rimba penuh nada
dan menyanyikan rembulan yang fantasia

o, betapa sepanjang badan dan bulan, harapan
serupa tangga irama
kupetik umur umur yang naïf
dari kaki hingga kepala,
tembangmu ibu lebih sekedar pelita
yang kubawa hingga jauh ke muara;
laut teduh yang belum sampai sampai kukayuh juga

tembangmu ibu, sepanjang badan
takkan fana usia ayunan
bagaikan bedak cendana, rekak biji merica,
dan hio leluhur di altar pertemuan

akan kucipta dari lirih lagumu, perempuan impian tempat berdian
dan kuda kuda perkasa, cambuk kenangan dan
kapal yang kokoh di tujuh samudera
tapi ibu, tembangmu takkan kutiup dengan terompet perang
karena lagu cinta cukuplah kujaga sebagai api asmara
sepanjang jalan, sepanjang badan.


Yogyakarta-Belinyu, Juli 2004

Marhalim Zain



(Pekanbaru)

Lahir di Teluk Pambang Bengkalis Riau, 15 Januari 1976. Alumnus Jurusan Teater Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Buku puisinya Segantang Bintang Sepasang Bulan (2003) dan Langgam Negeri Puisi (2004). Kini berkhidmat di Akademi Kesenian Melayu Riau (AKMR) Pekanbaru sebagai ketua Jurusan Teater dan staf pengajar. Terakhir ia mengikuti International Literary Biennale 2005 di Lampung. Salah satu puisinya :

Song Of The Bintan
: putu wijaya

Semalam, yang gemetaran
di ujung tiang tebing
adalah kita,
bebatu yang dingin
sehabis ditikam hujan
dan puisi-puisi
yang basi.

(Padanya, kau berharap
ada mimpi,
atau sebatang rokok
yang nyala,
ada api)

Tapi pulau ini
bukan laki-laki,
ia pernah salah
membuang wajah
pada matahari mati
dan cemas
yang abadi.
Lihat,
wajahmu memucat!

Malam dan angin,
saat tak tepat
untuk mencatat
segala umpat.
Kita mungkin
hanya bisa berpaling
menghitung gugur jam
pada tetes tempias
di kaca jendela,
dan roda mobil
yang terus melaju.
Di mana putu?
(Ia berjalan kaki
bersama gerimis)

Dan isbedy,
seperti sedang
melepas kenang
di tiang-tiang pelabuhan,
di tiang-tiang perempuan.
Bahwa laut,
sempat membuat kecut,
membuat hasrat surut
melepas pagut,
tapi gurindam ini,
sunyi yang asing ini,
justru mempererat renggut.
Siapa yang sakit
di antara kita?

Sekejap lagi
tahun melambai pergi
seolah anak-anak kita
yang sakit hati.
Padanya,
Ada bau sepatu
dari jejak beribu kota,
meruap jadi uban,
jadi anai-anai,
dan senja
yang lepai.

(Apakah, sebuah pagi
akan selalu setia
membawa matahari
dan menyelipkan
sepucuk sisa waktu
di bawah celah pintu?)

Saat itu,
kita masih berselimut
dalam tubuh malam,
dalam tubuh
yang tak utuh.

Dan di bawah bantal
sebuah bangkai hari
yang telanjang,
seperti foto keluarga
yang terlipat,
yang terjirat.
Kau baik-baik saja,
istriku?

Barangkali,
di kelenteng tua itu,
harapan dan kesedihan
kita sangkutkan
di duapuluhdua tangan,
seperti sebuah sejarah
yang dipatungkan.
Dewa-dewa
atau tuhan,
kadang berdiri
di samping kita,
meminta foto bersama,
selayaknya kawan lama.
Tapi kadang,
ketakutan datang
dari arah belakang
memakai baju hitam
dan dada yang berlubang.
Sebaiknya,
kita pulang saja!

(Aduhai,
ini bintan,
sebuah lukisan
tentang pertemuan
dan ingatan yang
berkejaran)

Tengoklah, rumah
yang berkerumun
di tepian,
dan kapal-kapal
yang demam,
dihimpit
daratan dan lautan.
Kita di mana, tuan?

Orang-orang yang sibuk itu,
juga sedang bertanya
tentang di mana.
Tentang kapan
sebuah awal
dari sebuah akhir.

(Semalam, yang gemetaran
di ujung tiang hujan
adalah kita,
bebatu yang dingin
sehabis ditikam
puisi-puisi
yang basi)

Tanjung Pinang, 2005

Hoesnizar Hood



(Kepulauan Riau)

Lahir di desa Sungai Ungar – Kepulauan Riau, 11 Desember 1967, Ia mengawali aktifitasnya sebagai seorang pembaca puisi, ia banyak berkesempatan membacakan puisi-puisinya di berbagai daerah di Indonesia dan juga luar negeri seperti Singapura serta Malaysia. Kumpulan puisinya “Kalau –Tiga Racik Sajak”-1997 dan “Tarian Orang Lagoi”-1999, serta beberapa antologi puisi, antara lain bersama penyair Malaysia ; Makam -2000 dan Tersebab Senandung Laut Hitam antologi penyair Kepulauan Riau-2002. Ia mendirikan sebuah komunitas seni yakni Pusat Latihan Seni Sanggam di Tanjungpinang yang lebih berorientasi pada berbagai seni pertunjukan dengan akar budaya Melayu dan banyak mengikuti kegiatan kesenian seperti : Pesta Gendang Nusantara di Malaka, Singapore Folk Fiesta di Singapura, dan International Folklore di Prancis serta Gamelan Festival – Yogyakarta, Festival Puisi Indonesia – Yogyakarta, Pergelaran seni GWK – Bali, Gelanggang Tari – Padang, Ecological Arts Gathering – Toba Sumatera Utara, dan Chingay Parade of Dream – Singapura. Puisi Dongeng Pasir-nya pernah menjadi ilham sebuah sinetron kerjasama Dewan Kesenian Kepulauan Riau dengan RCTI tahun 2003. dan mendapat Anugerah Kebudayaan dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata untuk kategori film tahun 2004. Sejak tahun 2004 ia dipercaya menjadi Ketua Umum Dewan Kesenian Provinsi Kepulauan Riau. Salah satu puisinya :

Aku Menulis di Toba

Air kembalilah ke hati
Kembali kemusim percintaan
Jangan turun dimata
Kembalilah keawan luruhlah lagi tumpah dibadan

Seperti danau bercinta dengan hujan
Aku ingin melihat tajammu menusuk
bagai lukisan barisan serdadu dalam putaran dadu nasibku

Air peluklah bagai berpeluk rindu
Pecah satu bunyi asmara
Senandung siang malamku

Aku menulis di Toba
Kegelisahan berenang ke risau
Anggun gelombang berpagut danau bertabik dengan bukit bangsawan
bukit segala tuan
Raja segala tinggi adat segala nyawa

Aku menulis di Toba
Seperti suratan bathinku ditulis di langit
Seperti takdir saudaraku ditulis di tangan
seperti nasib negeriku ditulis dilangit di
tanganMu

Gunung gapailah ke dasar seperti pancang yang tegak
Dan kau hikayatkan kisah yang tenggelam berabad-abad
Jangan tutup rahasia malam dengan bulan
Jangan tutup rahasia siang dengan matahari

aku menulis di Toba
aku menulis di danau berahasia
gelombang nyanyian dan bukit lagu antara batu tua kayu lama
dalam rahasia dua kutup tangan tetua
menarilah manarilah

seperti tak perduli angin
dengan mesra memberikan aku gigil
Seperti lena nasibku dalam kubang bangga bangsaku yang tak tau kemana akan menghala
Seperti berjam-jam aku membaca
kemana arusmu ?

Abdul Kadir Ibrahim


Abdul Kadir Ibrahim

(Tanjung Pinang)

Lahir di Kelarik Ulu, Natuna, Kepulauan Riau, 4 Juni 1966. Karya-karyanya terhimpun : Kumpulan Puisi 66 Menguak (1991), Negeri Air Mata (2004) dan kumpulan cerpen : Menjual Natuna (2000) dan Harta Karun (2001). Menurut Prof.Dr. Sapardi Djokodamono, puisi-puisinya cenderung untuk “bermain-main” dengan kata-kata dan menghidupkan kembali tradisi mantra di dalam perkembangan puisi Indonesia Modern. Sementara Dr. Ahmad Badrun berpendapat, sajak-sajaknya sebagian besar disusun secara tipografik mirip dengan perjalanan kapal yang menantang gelombang lurus dan berkelok-kelok (Akib Bertutur dan Bermistik, Riau Pos, Pekanbaru,2005). Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, Akib berbeda dengan Sutardji. Sajak-sajaknya kata-kata kembali kepada asalnya, sebagai perpaduan bunyi vokal dan konsonan yang meletup begitu saja, sebagai gumam atau ucapan manusia primitif yang tanpa makna dan tanpa tujuan (Menemui Akib dari Cakrawala Sastra Indoneia, Republika, 18 September 2002). Sejumlah karyanya masih belum diterbitkan, antara lain : Al Quran dan Hadits sandaran Gurindam Dua Belas, Amuk Matahari, Pengantin Sampan, Rampai Islam : Dari Syahadat Sampai Lahat, Luka Hitam dan lain-lain. Salah satu puisinya :
• Kekuasaan Neraka
• Secuka Airmata
• Didih Luka

Kekuasaan Neraka



zaman tercurah airmata dan darah keinginan tamak keras legam
menyihir rindu pasung kelat racun nyawa semurah antah
kemaruk hidup menyangkul luka zuriat dunia
meniti bala peradaban cabikkoyak
gemerentam meriam bom
panas nuklir ludah
kekuasaan
amerika
josh
w
bush
sekutu barat jahanam
ambur demokrasi hak azasi
sesungguhnya jala-jaring iblis dajjal
iraq iran libya palestina pakistan indonesia
negara islam sedunia bilapun nerakalah! amerika punya surga

....
Tanjung Pinang, 2003